Rabu, 10 Juni 2015

HORMAT

Suatu ketika, sebuah pernyataan mengejutkan dari seorang Menteri Agama tentang masalah hormat-menghormati bagi yang akan melaksanaka ibadah, dan bagi yang tidak. Sebenrnya, ini bukan persoalan, tapi, menjadi sebuah persoalan besar dibumbui dengan intrik-intrik politik dan sifat keegoan yang cenderung ke arah fanatisme buta. Menteri Agama- Lukman Hakim Syaifudin- membuat pernyataan di Twitter, yang mengatakan bahwa, ketika puasa warung tidal perlu menutup, silahkan saja terbuka dan berjualan seperti apa adanya. Dan bagi yang berpuasa diharapkan meng-HORMATI yang tidak puasa untuk melakukan segala aktivitasnya. 

Jegeerrr... kata "MENGHORMATI" ini menjadi dasar perdebatan. Indonesia adalah mayoritas Islam, so pasti, yang menjalankan ibadah puasa ramadhan pasti banyak.. (*katanya) . Begtu kata "MENGHORMATI"  tertulis, sebagian muslim merasa tersinggung, dan pertanyaan yang paling umum adalah, Mengapa kami (umat muslim) yang mayoritas harus "MENGHORMATI" yang tidak melakukan ibadah (minoritas) ???

Sebenarnya, masalah buka tutup warung di bulan puasa adalah bagian dari ETIKA. Bagi saya sendiri, yang namanya ETIKA, berkaitan dengan hati nurani dan semangat toleransi INDIVIDU. Ingat... kata kunci adalah hati nurani dan toleransi individu. Dalam Al-Quran sendiri, ibadah puasa tidak pernah melarang atau menghalangi umat beragama lain untuk menutup warung, atau bahkan warungnya tidak tutup tapi dibuat "tertutup" sehingga aktivitas apapun tidak terlalu mencolok perhatian luar.

ETIKA itu menjadi kebiasaan, dan kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi NORMA, kemudian menjadi HUKUM, yang mempunyai sanksi. Masalah warung... belum sampai menjadi HUKUM, tp sudah mencapai NORMA. Apa buktinya?? Beberapa tahun kebelakang berita FPI dan ormas Islam lainnya, menghiasi berita-berita di bulan Ramadhan. Mereka yang tidak menutup usaha warungnya akan dipaksa untuk menutup.   Bahkan dilakukan dengan cara kekerasan. Artinya apa ?? Awalnya ini adalah bagian dari TOLERANSI,  yang kekuatannya ada pada kerendahan Individu atau personalitas pribadinya. Kalau individu tersebut paham, maka dengan segala kerendahan  hatinya,  maka dia akan berusaha untuk turut membantu umat muslim menjalankan ibadahnya.  Tapi kalaupun tidak,  seharusnya tidak menjadi masalah, karena sebenarnya, itu adalah bagian dari ibadah puasa kita. Seberapa besarkah niat anda berpuasa untuk mencari pahala ?? Bukankah semakin besar ujian puasa, semakin besar pula makna dan pahala yang kita dapat ??  Jadi.. menutup atau tidak menutup, sebenarnya umat lain yang tidak berpuasa mempunyai peran dalam menentukan pahala puasa kita.  Dan seharusnya, kita berterima kasih kepada mereka. Betul gak ??

Kalau begitu, bisa jadi Puasa Sunnah pahalanya lebih besar dari Puasa Ramadhan ?? Kenapa enggak ?? Tapi masalah hitung2an pahala..adalah hak prerogatif Allah SWT. Kalo kita melakukan ibadah dengan baik, Insya Allah. ..ganjaran pahalanya juga setimpal .

Jadi intinya...apa yang dikatakan Pak Menteri Agama adalah sesuatu yang wajar dan biasa saja. Janganlah umat muslim menjadi terlalu "sensi" dengan kata "hormat". Kalau kita meyakini bahwa umat Islam adalah Rahmatan lil' Alamin, maka aplikasikanlah kedalam kehidupan yang penuh warna ini, jangan menunjukkan superioritas dengan keegoan dan fanatisme. Yakin lah.. bahwa kalau mengandalkan  egoisme s dan fanatisme, maka cenderung akan merusak agama itu sendiri.

Marhaban Yaa Ramadhan ...

Tidak ada komentar: